PALANG
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menyatakan baru-baru ini, “Kalau kita mau investasi kuncinya cuma satu, jangan main palang terus, ini saya kasitau baik-baik, sampai ayam tumbuh gigi, negeri ini kalau mau maju, katong pu (punya) hati harus baik,” ujar Menteri Bahlil. (https://www.primarakyat.net/2023/07/15/menteri-bahlil-mau-investasi-kuncinya-hanya-satu-jangan-palang/)
Dari segi kepentingan investor, benar yang dikatakan oleh Menteri Bahlil. Tidak ada investor yang mau investasinya terganggu. Maunya harus mulus. Sedapat mungkin memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya dalam waktu secepat-cepatnya.
Pemerintah juga pasti berharap seperti itu. Lebih banyak keuntungan pengusaha, lebih banyak pajak yang dibayar ke negara. Lebih banyak dana yang tersedia untuk pembangunan (asal tidak dikorupsi).
Itu sebabnya, jangan ada pemalangan – itu posisi Pemerintah. Menurut Menteri Bahlil “… [kita] punya nenek moyang di Fakfak tidak pernah palang-palang, karena kami saling menghargai, saling mengasihi dan tahu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.”
Kenapa masyarakat hukum adat melakukan pemalangan?
Ada dua jawaban. Pertama, karena yang melakukan pemalangan itu merasa/berpendapat mereka tidak memperoleh manfaat yang layak dari kehadiran suatu proyek – apalagi ketika mereka tahu bahwa proyek itu meraup untung besar. Jadi, pemalangan bisa dipandang sebagai bentuk komunikasi non-verbal agar keprihatinan mereka diperhatikan oleh Pemerintah/pemerintah daerah dan investor.
Kedua, dan ini yang lebih penting, di dalam budaya Melanesia sesungguhnya tidak dikenal pengalihan/transfer hak atas tanah/lahan – termasuk sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.
Ada artikel bagus yang dipublikasi pada tahun 1984. Tulisan berjudul “Social and Cultural Aspects of Land Tenure” itu ditulis oleh Joel Bonnemaison (https://horizon.documentation.ird.fr/exl-doc/pleins_textes/pleins_textes_5/b_fdi_12-13/15777.pdf).
Perhatikan kata-kata Bonnemaison, “… Dalam adat Melanesia, setiap orang termasuk dalam satu klan dan setiap klan memiliki area tanah yang tetap, … Tanah klan, [yang turun temurun dari] nenek moyang adalah realitas tunggal [yang tidak bisa berubah]. …Harus selalu diingat, bahwa … tanah Melanesia tidak dapat dipindahtangankan.”
Inilah salah satu topik yang dimasukkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 106 Tahun 2021. PP 106/2021 ini adalah turunan dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2021 Tentang Otsus Papua.
Pada bagian Lampiran PP 106/2021, Urusan Pertanahan, Sub-Urusan 5, yaitu Tanah Ulayat dan Masyarakat Hukum Adat, huruf e, dinyatakan, bahwa kewenangan Pemprov maupun Pemkab/Pemkot adalah “… Mengatur kerjasama pemanfaatan tanah Masyarakat Hukum Adat dengan pihak lain dalam bentuk perjanjian, sewa dan/atau kontrak penggunaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga Masyarakat Hukum Adat.”
Masuknya klausul perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah di Tanah Papua, sebagaimana tercantum dalam Lampiran PP 106/2021 seperti dikemukakan di atas, adalah karena perjuangan sejumlah pihak.
Para pejabat di Badan Pertanahan Nasional yang pro-masyarakat hukum adat (banyak di antara mereka yang pernah berkarya di Tanah Papua) memiliki perananan yang tidak kecil, termasuk Dirjen Otda dan para pejabat Kemendagri, dan Kemenkumham yang mengkoordinir pembahasan PP ini.
Dari Provinsi Papua Barat, Gubernur Dominggus Mandacan sudah sejak awal mendesak supaya kewenangan daerah diperjelas – termasuk soal tanah. Wakil Gubernur Mohamad Lakotani, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Tim Asistensi dari daerah, mengamankan dan memperjuangkan kebijakan Gubernur Mandacan dalam berbagai diskusi dengan fraksi-fraksi di DPR RI maupun dengan kementerian dan lembaga terkait.
Anggota DPR RI Komarudin Watubun, Yan Mandenas, dkk., Anggota DPD RI Filep Wamafma, dkk., menyuarakan hal yang sangat penting ini dalam rapat-rapat di dewan masing-masing.
Rektor Universitas Papua Meky Sagrim dan Tim, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Abdul Latief Suaeri, dan sejumah pejabat Pemprov Papua Barat, mendukung dalam membuat berbagai kajian. Mungkin ini satu-satunya PP yang pembahasannya melibatkan DPR dan DPD RI.
Inilah pintu masuk legal untuk melindungi masyarakat hukum adat kita. Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota di Tanah Papua sebaiknya memperhatikan klausul ini dengan sungguh-sungguh dan membuat regulasi daerah yang diperlukan supaya hak-hak masyarakat hukum adat benar-benar terlindungi.
Sekarang saatnya kita bicara dan bertindak dengan perjanjian, sewa dan/atau kontrak ketika tanah milik masyarakat hukum adat ingin digunakan para pihak harus fair dengan masyarakat hukum adat Papua.
Ini adalah perwujudan konstitusi Republik Indonesia Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18b ayat (2): ““Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Kalau ketentuan-ketentuan ini dijalankan dengan sungguh-sungguh dan jujur, palang-memalang pasti tidak akan terjadi lagi.
Khusus untuk investor, gunakanlah keahlian para ahli antropologi dan ahli sejarah Papua. Mereka ada di Uncen, Unipa, STFT Fajar Timur, STFT GKI I.S Kijne, dan perguruan-perguruan tinggi lain. Mereka kritis, berpihak pada perlindungan masyarakat adat Papua, tetapi untuk kebaikan semua pihak.
Agus Sumule
Universitas Papua
Minggu, 16 Juli 2023